Biopolitik di Negara Wabah

Jika suami berkata “tidak masak hari ini”, bilang saja, kita berlakukan “new normal”.  Jika istri berkata “tidak bantu mengurus rumah”, bilang saja, kita berlakukan “new normal”.  Jika pemerintah berkata “rakyat itu tidak disiplin”, kita berlakukan saja “new normal”. Pun, jika rakyat berkata “pemerintah tidak bisa mengurus wabah”, bilang saja, kita berlakukan “new normal”.

Ilustrasi tersebut menunjukan pemberlakuan new normal cenderung bersifat politis daripada menciptakan solusi di tengah pandemi COVID-19. Beberapa hari terakhir, kita diperdengarkan dan dipertontonkan di berbagai media mengenai istilah baru yaitu new normal. Suatu kondisi yang dapat mengubah tatanan perilaku baru dengan tujuan berdamai dengan pandemi COVID-19. Berdamai dengan COVID-19 adalah tujuan yang menggelikan. Mengingat angka penyebaran COVID-19 masih tinggi, COVID-19 nampaknya tidak ingin berdamai dengan manusia.

Pemberlakuan new normal adalah suatu kebijakan untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi COVID-19. Daripada indeks ekonomi negara turun, merebaknya ambiguitas kebijakan pemerintah, dan hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah, new normal lebih terlihat sebagai teknologi untuk mendisiplinkan perilaku masyarakat daripada solusi menghadapi COVID-19. Pemberlakukan new normal adalah praktik biopolitik yang sedang diterapkan oleh negara.

Biopolitik adalah istilah yang diperkenalkan oleh Michael Foucault. Dalam biopolitik, tubuh tak lagi menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi tubuh untuk mendisiplinkan masyarakat. Dengan mendisiplinkan tubuh, praktik kekuasaan menjadi menyebar. Setiap tubuh individu menjadi pengawas dari praktik kekuasaan. Jika ada individu yang tidak sesuai dengan nilai pendisiplinan, ia akan dikenakan hukuman dari individu lainnya, misalnya sanksi sosial.

Pada konteks tersebut, negara memiliki potensi untuk mempraktikkan biopolitik dengan jargon new normal dalam menghadapi COVID-19. Negara memiliki legitimasi membuat definisi, mengkonsep kehidupan orang banyak dan juga menciptakan istilah new normal atau tatanan baru. Untuk mengkonkritkan ide tentang “New Normal, negara membutuhkan institusi kesehatan sebagai alat untuk mengkampanyekan slogan “New Normal.

Melalui institusi kesehatan, segala aturan diciptakan untuk mengontrol tubuh masyarakat, tentu dengan segudang alasan tentang kesehatan, imunitas, bertahan hidup, dan juga ilmu pengetahuan. Aturan-aturan tersebut dihimpun dan dibungkus menjadi protokol kesehatan untuk memandu masyarakat menuju era new normal. Pada protokol kesehatan, tubuh masyarakat didikte tentang perilaku yang boleh dilakukan dan perilaku yang tidak boleh dilakukan.

Tidak hanya berhenti pada proses tersebut, protokol kesehatan perlu disampaikan ke publik melalui berbagai media dan pihak yang berwenang. Presiden, para juru bicara, pakar kesehatan, dan para influencer terus mengkampanyekan new normal ke publik. Para akademisi juga mendiskusikan tentang tatanan baru yang mungkin terjadi saat new normal berlaku. Ketika tubuh individu mengkonsumsi beragam logika-logika kampanye tersebut, new normal menjadi ilmu pengetahuan. Tubuh masyarkat menjadi tersubjeksi atau terinterplasi menjadi tubuh produktif yang melanggengkan kewajaran-kewajaran yang ada di new normal. Sebagai bentuk dari ilmu pengetahuan, setiap individu dapat mengontrol, mengawasi, dan menilai setiap pergerakan dan perilaku individu lainnya disertai dengan menerapkan hukuman bagi yang siapa saja yang tidak mematuhi kesepatakan protokol kesehatan. Walaupun kesepakatan itu dibentuk atas dasar keterpaksaan yang diwajarkan.

Ketika new normal sudah menjadi praktik sosial, new normal menjadi praktik politis dan suatu prototipe teknologi terbaru untuk menguasai banyak orang. Untuk mencapai praktik kekuasaan yang lebih sempurna, negara menekankan kembali tentang budaya disiplin. Disiplin memakai masker, disiplin tidak berkumpul, disiplin untuk meningkatkan kebersihan, disiplin untuk tidak beraktivitas di luar rumah, disiplin untuk tidak melakukan perjalanan jarak jauh, dan disiplin untuk jaga jarak merupakan serangkaian peraturan yang dilegitimasi oleh institusi kesehatan.

Adanya COVID-19, keberadaan institusi kesehatan dengan protokol kesehatan merupakan investasi jangka panjang. Mendisiplinkan tubuh adalah proses yang panjang. Mengubah perilaku untuk mematuhi permintaan dari pihak berwenang adalah prasyarat untuk menerapkan new normal, dan hanya diperoleh melalui proses pengkondisian yang lama melalui aparatus ideologis. Menempatkan tubuh individu di dalam rumahnya masing-masing merupakan upaya ideologis, tentu dengan ancaman jika tubuh individu keluar dari rumah beresiko untuk tertular.

Para pihak yang berwenang mengatakan new normal adalah keniscayaan sehingga harus cepat disebarkan dan dipraktikkan untuk menstabilkan ekonomi dan politik. Keikutsertaan polisi dan tentara nasional untuk mengawasi dan mengobservasi tubuh di setiap perbatasan kota atau negara menguatkan adanya simbol praktik biopolitik secara represif. Tindakan represif terlihat pada pos-pos penjagaan yang tidak mengijinkan kendaraan masuk dengan kapasitas lebih dari setengah ke suatu wilayah. Walaupun penumpang satu alamat, satu keluarga, suami istri, para petugas meminta putar balik atau diturunkan.

Perilaku mobilitas tubuh masyarakat tidak sepenuhnya diterapkan secara total. Ada syarat yang perlu disiapkan oleh tubuh individu jika ingin melintasi suatu wilayah. Di pos-pos pengawasan, setiap individu harus melaporkan nama, jenis kelamin, usia, keperluan berpergian, dokumen kesehatan. Pelaporan tersebut dievaluasi oleh para penjaga untuk diijinkan melanjutkan perjalanan atau tidak. Gambaran tersebut adalah representasi kekuasaan biopolitik yang mana tubuh selalu diawasi dan diobservasi.

Saat ini, tubuh ditempatkan pada ruang-ruang sempit dan tetap. Setiap pergerakan tubuh individu selalu diawasi, dicatat, diperiksa, dan diobservasi. Praktik kekuasaan biopolitik diproduksi oleh tubuh-tubuh produktif sehingga menghilangkan daya kritis tubuh masyarakat. Semua itu adalah hasil mekanisme pendisiplinan tubuh. Tubuh masyarakat diposisikan pada suatu kekuatan yang Maha Tahu dan Maha Hadir hinggga segala keputusan dari setiap tubuh individu ditentukan oleh pihak yang berada di luar dirinya.

COVID-19 atau wabah yang mungkin terjadi di masa mendatang menjadi momen tepat untuk membuat praktik, metode, dan teknologi kekuasaan baru. Pada akhirnya, identitas tubuh masyarakat akan selalu menjadi elemen atau bahan bakar biopolitik suatu kekuasaan. Dengan segeranya diberlakukan new normal, Kita mungkin tidak akan memiliki tubuh. Kita mungkin tidak akan mengenal tubuh kita karena tubuh yang selalu dimodifikasi untuk kepentiangan kekuasaan. Apa yang di dalam tubuh kita bukanlah sifat-sifat kita, tetapi tubuh kita mengandung seperangkat aturan-aturan yang menutup dan juga membiaskan jati diri kita sebagai manusia.

Dengan sisa-sisa sisi kemanusiaan, kita setidaknya masih bertanya pada diri kita sendiri tentang apa yang dimaksud dengan normal dan bagaimana menjadi normal. Jika kita tidak mampu menjawabnya, kekuatan kekuasaan dari biopolitik yang akan mengajari kita menjadi manusia-manusia new normal.

Sumber: https://wawasan.co/images/2020/06/05/WhatsApp_Image_2020-06-01.jpeg

Biopolitik di Negara Wabah
Scroll to top